Namun, jalan menuju kesembuhan tak pernah benar-benar lurus. Rujukan dari dokter di Rumah Dinah ke RSUD—yang seharusnya menjadi jembatan harapan—justru berubah menjadi rintangan. Dokter yang ditunjuk masih berstatus sebagai peserta didik, dan keraguan mulai tumbuh perlahan, seperti lumut di hati Ibu Ruminah.
Pikirannya sempat melayang jauh, membayangkan rumah sakit di luar Papua yang mungkin bisa memberi kepastian. Tapi logika dan rasa sayang pada dompet keluarga akhirnya menahan langkahnya. Ia tahu, keputusan seperti itu bukan hanya soal keberanian—tapi juga soal kemampuan.
Suatu sore, ketika matahari beranjak pulang dan burung-burung mulai bernyanyi rendah, seorang tamu istimewa mengetuk pintu rumah mereka. Dialah adik sepupu Ibu Ruminah, seorang suster di rumah sakit. Ucapannya mengalir tenang namun mantap, “Rumah Sakit Marini juga baik, ada dokter bedahnya di sana.”
Saran itu jatuh seperti hujan pertama yang menyegarkan tanah kering. Tanpa ragu, Ibu Ruminah menyambutnya dengan anggukan. Namun sebelum langkah bisa melaju, rujukan BPJS kembali jadi syarat gerbang.
Mereka pergi ke puskesmas, namun diarahkan kembali ke dokter keluarga BPJS. Seperti anak panah yang harus menembus beberapa lapisan sebelum mencapai sasaran, mereka bersabar dan mengikuti alur yang ditentukan. Hingga akhirnya, surat rujukan dari dokter keluarga BPJS menuju Rumah Sakit Marini pun berhasil mereka genggam—selembar kertas yang membawa harapan.
Hari keberangkatan menuju Rumah Sakit Marini pun tiba.
Pagi-pagi sekali, Pak Dola dan Ibu Ruminah bersiap. Sebelum berangkat, Pak Dola terlebih dahulu mengirim pesan kepada pimpinannya untuk meminta izin. Ia menulis dengan sopan, menjelaskan bahwa hari itu ia tidak bisa menjalankan tugas seperti biasa karena harus mengantar istrinya ke rumah sakit. Tak lama kemudian, balasan pun masuk:
“Ya, Sir. Silakan. Semoga semua urusan berjalan lancar.”
Jawaban singkat itu cukup membuatnya merasa lebih tenang—sebuah izin yang bukan hanya administratif, tapi juga bentuk pengertian yang sangat berarti di tengah situasi yang penuh tekanan.
Dengan hati sedikit lebih lapang, mereka pun berangkat menembus pagi yang masih basah oleh embun. Motor tua mereka meraung pelan, seolah melafalkan doa-doa diam yang mereka simpan dalam dada. Jalanan terasa lengang, namun pikiran mereka dipenuhi kecemasan yang riuh.
Setibanya di Rumah Sakit Marini, langkah mereka menapaki lantai yang dingin—dingin seperti hati yang sedang menanti kabar pasti. Wajah Ibu Ruminah tampak tegar, meski lelah mulai merayap di sudut matanya. Pak Dola menggenggam tangannya erat, seolah ingin berkata, “Kita sudah sampai. Kita akan berjuang bersama.”
Setelah mendapatkan nomor pendaftaran—angka besar yang menunjukkan panjangnya jalan Setelah mendapatkan nomor pendaftaran—angka besar yang menunjukkan panjangnya jalan yang masih harus ditempuh—mereka duduk di ruang tunggu. Waktu berjalan lambat, dan mereka bersabar dalam hening yang menggantung seperti kabut.
Tak lama kemudian, suara petugas terdengar melalui pengeras suara:
“Nomor antrean empat puluh lima.”
Suara dari balik loket terdengar tenang, lalu hening sejenak.
“Empat lima, silakan ke loket tiga.”
Ibu Ruminah mengangkat kepala, mengenali nomornya.
Dari kursinya yang agak jauh, ia menjawab pelan namun jelas,
“Ada… saya di sini.”
Sambil mengangkat tangan sedikit sebagai isyarat, ia bangkit perlahan.
Langkahnya mungkin pelan, tapi suaranya membawa keberanian yang baru saja dikumpulkan.
Nama itu akhirnya terucap. Meluncur ke udara, menggetarkan ruang dan waktu.
Bukan sekadar jawaban atas panggilan, melainkan tanda dimulainya sesuatu yang lebih besar—
seperti denting bel yang membuka babak baru dalam hidup mereka.
Pak Dola menatap istrinya. Dalam diam, mereka saling menguatkan.
Ini adalah langkah yang harus mereka jalani bersama.
Setelah proses di loket pendaftaran selesai, mereka diarahkan menuju Poliklinik Obgyn. Ruang itu sudah dipenuhi pasien lain yang juga menanti giliran. Pak Dola dan Ibu Ruminah kembali duduk, kali ini di antara antrean panjang dan wajah-wajah lelah.
Suster yang berjaga hanya memberi penjelasan singkat, “Dokternya datang jam sepuluh, ya, Pak. Harap bersabar.”
Pak Dola mengangguk pelan. Ia sudah terbiasa menunggu—bukan hanya waktu, tapi juga kepastian.
Jam terus bergerak. Detik demi detik seperti batu yang perlahan mengikis kesabaran. Namun mereka tetap duduk tenang, memeluk harap di tengah hiruk-pikuk rumah sakit.
Akhirnya, waktu yang ditunggu pun tiba. Dokter datang dan mulai memeriksa pasien satu per satu. Suster mulai memanggil nama berdasarkan antrean.
“Ibu Ruminah, silakan masuk.”
Dengan langkah perlahan, Ibu Ruminah berdiri. Pak Dola menggenggam tangannya sejenak, memberi semangat lewat genggaman yang tak perlu banyak kata. Pintu ruang pemeriksaan terbuka, dan sang istri pun masuk—membawa seluruh harapan yang selama ini mereka kumpulkan dari sabar, doa, dan usaha kecil yang tak terlihat.
Interogasi kecil pun dimulai—antara dokter dan pasien.
Dokter mulai mengajukan pertanyaan satu per satu, tapi Ibu Ruminah tak banyak bicara. Ia hanya membuka tas perlahan, lalu menyerahkan selembar surat rujukan dari dokter kandungan di RS Dinah.
Pak Dola duduk di sampingnya, diam-diam berharap bahwa semua dokumen yang mereka bawa cukup untuk melanjutkan proses pemeriksaan.
Namun begitu surat rujukan itu berada di tangan dokter, suasana berubah. Dokter menyipitkan mata, memperhatikan tulisan yang tercetak di kertas dengan teliti.
“Ini rujukan ke RSUD Dok 2 ,” ucapnya, nadanya datar namun mengandung pertanyaan. “Kenapa Ibu datang ke sini?”
Sekilas, suasana ruangan menjadi kaku. Pak Dola dan Ibu Ruminah saling pandang—kebingungan dan kecemasan perlahan menyusup ke dalam benak mereka. Rute yang mereka tempuh ternyata belum sampai ke tujuan yang tepat.
Dengan suara lembut tapi pasti, Ibu Ruminah menjawab, “Ada keluarga saya menyarankan ke sini, katanya ada dokter bedah yang bagus.”
Kata-katanya jatuh seperti batu besar yang menggelinding ke dasar hati Pak Dola dan Ibu Ruminah, menimbulkan getar kekhawatiran yang sulit dibendung.
Hari itu, setelah menunggu begitu lama—seolah menanti musim berganti dalam satu hari—akhirnya pemeriksaan pertama pun selesai. Namun, bukan kabar gembira yang menyambut Pak Dola dan Ibu Ruminah, melainkan keheningan yang menggantung seperti kabut di pagi buta. Tak ada kepastian tentang waktu operasi. Suster hanya menyerahkan selembar kertas kecil: catatan untuk kontrol minggu depan. Ringan di tangan, tapi rasanya seperti beban tak kasatmata yang menekan dada.
Mereka menatap secarik kertas itu dalam diam. Di dalam hati, tersimpan harap yang belum bersuara—semoga operasi bisa segera dilaksanakan, sebelum rasa cemas tumbuh liar seperti semak belukar di kepala.
Dengan langkah yang mengayun pelan dan tubuh yang dibalut kelelahan, Pak Dola dan Ibu Ruminah meninggalkan rumah sakit. Jalan pulang terasa lebih panjang dari biasanya, seolah waktu memperlambat lajunya, memberi ruang bagi mereka untuk mencerna kenyataan. Meski letih merayap hingga ke tulang, mereka tetap berjalan beriringan, memikul sabar dan harapan di pundak masing-masing.
Setibanya di rumah, dinding-dinding menyambut mereka dalam diam yang akrab. Rumah kecil itu seperti memahami kelelahan mereka, memberi ruang untuk beristirahat tanpa banyak tanya. Di dalam keheningan yang teduh, mereka saling menguatkan tanpa banyak kata—karena cinta tak selalu butuh suara, cukup dengan hadir dan bertahan.
Esok harinya, matahari menyibak pagi dengan cahaya lembut yang menyusup melalui sela-sela jendela. Meski hatinya masih berat, Ibu Ruminah memilih bangkit. Ia kembali menyiapkan dagangannya seperti biasa—tangannya cekatan membungkus makanan, walau pikirannya masih tersangkut di lorong-lorong rumah sakit.
Di kantin sekolah, ia berdiri di balik meja, menyapa anak-anak dengan senyum yang hampir utuh. “Apa, ini uang kembaliannya,” ujarnya pelan, seolah hari itu tak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Padahal, di balik setiap ucapan sederhana itu, tersimpan usaha keras untuk tampak tegar—meyakinkan diri bahwa hidup tetap harus berjalan, meski jiwanya belum sepenuhnya pulih.
Setiap bungkusan yang ia sodorkan, setiap uang yang ia kembalikan, menjadi pengingat bahwa ia masih harus bergerak. Di tengah kesibukannya melayani pembeli, pikirannya terus melayang—pada hasil pemeriksaan yang belum pasti, suara dokter yang terngiang, dan antrean panjang di farmasi yang menunggu jawaban. Tapi ia tahu, berdiam terlalu lama hanya akan memperdalam kegelisahan. Maka ia memilih tetap melangkah—karena dalam setiap gerak kecil itu, ada doa yang tak pernah berhenti mengalir.
Di tengah uap sup mie dan aroma gorengan, Ibu Ruminah merajut semangatnya kembali. Bukan semangat yang meledak-ledak, bukan pula yang membakar dunia—melainkan semangat sederhana yang cukup untuk membuatnya tetap berdiri. Harapan itu tumbuh pelan, seperti tunas kecil yang bersikeras menembus tanah kering demi menjangkau secercah cahaya.
💡 “Terkadang, semangat terbesar bukan yang berteriak lantang, tapi yang diam-diam terus berdiri di balik meja kantin, melayani dengan senyum yang hampir utuh.”





